Tumbuh—Bertumbuh
Semakin hari, aku semakin menyadari bahwa tidak semua yang aku rasakan harus aku ungkap,
tidak semua sedih dan duka mesti aku bagikan agar mereda
serta tidak semua senang mesti aku rayakan secara berterus terang
agar aku terlihat sedang bahagia.
Sebagian besar semestinya hanya aku bagikan secara penuh,
jujur dan utuh hanya pada Dia—yang menciptakan kehidupan ini.
Akhirnya aku sampai pada titik ini,
yaitu tidak bisa meninggikan ekspketasi yang sebelumnya
merupakan keahlianku nomor satu,
aku lebih membatasi kepekaan juga menegaskan zona aku dalam diriku.
Aku mulai memilah— memilih luasnya relasi dan realistis pada kehidupan,
bahwa yang paling berbuat baik kelak bisa menjadi yang paling menyakitimu diam perlahan-lahan
dan yang paling penuh ketulusan, mereka yang paling besar menyimpan kebohongan.
Sungguh, sangat mengejutkan bagiku ketika tahu
bahwa rumus ini masih dan selalu berlaku yaitu; seseorang yang kau beri kepercayaan,
bisa menjadi orang yang menikam kepercayaan itu sendiri pada akhirnya.
Pada masa lalu,
aku melihat diriku yang begitu lugu perihal baik dan jahat dalam diri orang lain.
Aku menduga, bahwa tak ada pengkhianatan dalam ketulusan.
Hidup sesekali sejahat itu mengajarkanmu menjadi kuat melalui kepahitan
yang rasanya adalah racun bagi jiwamu
ternyata racun itu juga yang kelak menjadi penawar tatkala kepahitan, menghampiri lagi.
Sebut saja namanya, berkaca dan belajar dari pengalaman.
Semakin bertambah hari-bulan-tahun, membicarakan soal saling mempercayakan banyak hal
masih menjadi hal paling sensitif dan sentimental bagiku.
Sebab aku kehilangan bagian itu, dan untuk menemukannya aku kesulitan hingga saat ini.
Jadi bab mendewasa kali ini adalah perihal: secukupnya menceritakan dan merasakan.
Jangan jatuh pada rasa hingga lupa pada nyata yang selalu ada dalam bentuk apa saja.
—Jurnal Bertumbuh, bagian satu.
Difraksi Kapsaisin x Aksara Sorai.
0 Komentar