LAILA–MAJNUN



[SELAMAT MALAM, WINKASIH]

Malam Mas Rimbun, kunang-kunang malam ini sungguh mempesona ya. Mengingatkan aku segala yang indah-indah tentang kau.

Tahun lalu pada hari yang sama ini, ketika itu kamu bercerita juga bercakap tentang ilusi. Bagaimana sang puan pujaan termakan oleh ilusinya sendiri. Lalu kau berceloteh kesal, karena melabeli diri tak akan pernah menyakitinya.

Masku, kau pun ilusi dicerita cinta orang lain, aku menyebutmu bodoh sesekali. Cara menekuni percintaan pun terlalu kaku, juga terlalu terpaku dan menggantungkan semuanya pada satu jiwa. Tapi tenang, aku juga menemanimu dalam hal ini. Kita, sama-sama bodoh.

Ironinya di sini, semesta tidak cukup adil membagi pilu. Mungkin kau kadang merasa sakit saat melihat pujaanmu menggenggam harapan yg lain, tapi kau masih punya hal baik, yakni aku yang ditakdirkan untuk bodoh, untuk terus menaruh rasa yang luar biasa padamu.




Kamu bisa sedikit bangga, silakan, tapi bagaimana dengan aku?
Aku bahkan tidak yakin ada manusia lain di bumi ini yang diam-diam punya rasa luar biasa pada diriku. Aku bilang, semesta memang jahat, dan memang benar.

Bahkan aku tidak bisa berharap, saat kau lelah untuk menggantikan ilusi puan pujaanmu dengan jiwa dan raga, mungkin saja kau lelah dan berbalik dengan lesunya
ke arahku—

Melihatku, juga mendekapku dengan sedikit rasa yang lebih baik. Kau terlalu kuat, sama denganku.


Ego kita menggila, sayang tidak akan bisa terikat.





—Puanmu, Dk.
Kita sepasang tapi tak bisa terikat.
đź“Ť4/365. Semesta bekerja dengan sendirinya.

Posting Komentar

0 Komentar